c

Selamat

Selasa, 13 Mei 2025

CATATAN VALID

10 Mei 2025

16:00 WIB

Mengenal Batu Bara Ideal Untuk PLTU

Batu bara untuk PLTU harus punya nilai kalor tinggi, kadar air, abu, dan sulfur rendah, agar efisien, minim emisi, serta mendukung pembakaran bersih dan berkelanjutan.

Penulis: Devi Rahmawati

Editor: Rikando Somba

<p>Mengenal Batu Bara Ideal Untuk PLTU</p>
<p>Mengenal Batu Bara Ideal Untuk PLTU</p>

Ilustrasi Batu Bara. Shutterstock/dok

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara masih menjadi tulang punggung pembangkit listrik di banyak negara. Secara global, sekitar 40% listrik dihasilkan dari PLTU berbahan batu bara, dan di Indonesia PLTU batu bara menyumbang hingga 67% kapasitas pembangkit.

Kebergantungan besar ini menjadikan kualitas batu bara sangat penting untuk efisiensi operasi dan kestabilan pasokan listrik. Memilih batu bara bermutu tinggi membantu pembangkit menghasilkan listrik dengan kinerja optimal dan mengurangi beban penanganan limbah.

Nilai Kalor Sebagai Tolak Ukur Energi
Salah satu karakteristik utama yang menentukan kualitas batu bara adalah nilai kalor atau calorific value. Nilai ini mencerminkan jumlah energi yang dapat dilepaskan dari setiap kilogram batu bara saat dibakar. Dalam konteks kebutuhan PLTU, nilai kalor yang tinggi berarti lebih sedikit batu bara yang dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah listrik yang sama. Dengan kalor tinggi, efisiensi termal pembangkit meningkat. 

Umumnya, batu bara dengan nilai kalor antara 5.000–6.000 kcal/kg dianggap ideal untuk pembangkit. Namun, penting diingat bahwa nilai kalor tidak berdiri sendiri—faktor lain, seperti kadar air dan abu turut memengaruhi efektivitas panas yang dihasilkan dari pembakaran.

Kadar Air: Menghindari Energi Terbuang
Kandungan air dalam batu bara, baik yang terikat secara internal maupun yang berupa kelembaban bebas, berkontribusi besar terhadap penurunan nilai kalor efektif. Saat batu bara dibakar, sebagian energi justru digunakan untuk menguapkan air tersebut alih-alih menghasilkan uap untuk memutar turbin. Akibatnya, efisiensi boiler turun, dan konsumsi bahan bakar meningkat.

Oleh karena itu, batu bara dengan kadar air rendah di bawah 20% lebih disukai oleh operator PLTU karena mampu memberikan output energi yang lebih maksimal dengan jumlah bahan bakar yang sama.

Kadar Abu dan Risiko Operasional
Selain kadar air, kandungan abu dalam batu bara juga perlu diperhatikan. Abu merupakan residu padat yang tertinggal setelah pembakaran, dan jika kadarnya tinggi, bisa menimbulkan sejumlah masalah teknis di boiler

Penumpukan abu di permukaan pemanas dapat menyebabkan fouling atau bahkan slagging, yaitu pembentukan kerak keras yang mengganggu perpindahan panas. Tidak hanya menurunkan efisiensi, kondisi ini juga mempercepat kerusakan peralatan dan meningkatkan kebutuhan pemeliharaan. 

Maka dari itu, pembangkit umumnya membatasi kadar abu batu bara di kisaran 5–10% agar proses pembakaran berjalan stabil dan andal.

Sulfur dan Tantangan Emisi
Selain abu, salah satu unsur kimia yang sangat diperhatikan adalah sulfur. Ketika batu bara dibakar, sulfur akan berubah menjadi gas sulfur dioksida (SO₂), yang menjadi penyebab utama hujan asam dan pencemaran udara. 

Untuk itu, batu bara dengan kandungan sulfur rendah di bawah 1% menjadi pilihan utama bagi PLTU. Selain mengurangi potensi emisi berbahaya, penggunaan batu bara rendah sulfur juga menekan kebutuhan investasi pada sistem pengendalian emisi seperti flue gas desulfurization (FGD), sehingga biaya operasional pembangkit bisa ditekan.

Grindability dan Efisiensi Penggilingan
Agar bisa terbakar secara efisien, batu bara harus digiling menjadi partikel halus sebelum masuk ke ruang bakar. Di sinilah pentingnya parameter Hardgrove Grindability Index (HGI), yang menunjukkan seberapa mudah batu bara digiling. 

Nilai HGI yang terlalu rendah berarti batu bara keras dan sulit dihancurkan, sehingga memerlukan energi lebih besar untuk proses penggilingan. Sebaliknya, HGI yang terlalu tinggi bisa menghasilkan debu berlebih yang berisiko terhadap keselamatan. Nilai HGI ideal untuk PLTU berkisar antara 45–60, karena dianggap seimbang antara kemudahan penggilingan dan keamanan operasional.

Volatile Matter dan Stabilitas Pembakaran
Karakteristik kimia batu bara juga menentukan keberhasilan proses pembakaran. Salah satu unsur penting adalah kandungan zat mudah menguap atau volatile matter, yaitu komponen hidrokarbon ringan yang terbebas saat batu bara dipanaskan. 

Kandungan volatile matter yang tinggi membantu proses penyalaan dan mempertahankan nyala api yang stabil. Namun, jika kandungannya terlalu tinggi, pembakaran bisa menjadi terlalu cepat dan menghasilkan emisi partikulat lebih banyak. Rentang 20–35% biasanya dianggap optimal agar pembakaran berjalan efisien dan terkendali.

Mengapa Semua Ini Penting?
Seluruh kriteria di atas, mulai dari nilai kalor, kadar air, kadar abu, sulfur, grindability, hingga volatile matter tidak bisa dipandang terpisah. 

Semua saling terkait dalam memengaruhi performa pembangkit dan tingkat emisinya. Pemilihan batu bara yang memenuhi spesifikasi teknis secara menyeluruh akan memastikan bahwa PLTU dapat beroperasi secara efisien, hemat bahan bakar, dan sesuai dengan regulasi lingkungan.

Di tengah arah global menuju pengurangan emisi karbon, bahkan batu bara pun tidak bisa lepas dari tuntutan untuk menjadi lebih bersih. Penerapan teknologi seperti co-firing dengan biomassa atau amonia hijau membutuhkan karakteristik batu bara yang stabil agar campuran bahan bakar dapat dibakar dengan efektif.

Dengan demikian, memahami dan menerapkan kriteria pemilihan batu bara bukan hanya soal efisiensi, melainkan juga bagian dari tanggung jawab terhadap masa depan energi yang lebih berkelanjutan.

 

Referensi:

  1. Bono, B., & Wahyono, W. (2017). Analisis Konsumsi Batubara Spesifik Ditinjau dari Nilai Kalor Batubara dan Perubahan Beban di PLTU Tanjung Jati B Unit 2. Eksergi: Jurnal Teknik Energi, 13(2).
  2. Febriani, A. V., Hanum, F. F., Kuncara, J., & Setyawan, M. (2024). Optimalisasi Mutu Batubara Indonesia: Kajian Metode dan Potensi dalam Peningkatan Nilai Kalor Batubara. Eksergi, 21(2), 70-76.
  3. Syahputera,   I.  M.,  Kamal,   D.  M.,  &  Ekayuliana,  A.   (2018).  Analisis  Pengaruh   Nilai  Kalori Batubara  terhadap Konsumsi Bahan Bakar dan Biaya Produksi Listrik.  Seminar  Nasional   Teknik Mesin, 474–483. http://semnas.mesin.pnj.ac.id/prosiding/2018_pdf/A054.pdf
  4. Wibowo, S. A., & Windarta, J. (2020). Pemanfaatan batubara kalori rendah pada PLTU untuk menurunkan biaya bahan bakar produksi. Jurnal Energi Baru dan Terbarukan, 1(3), 100-110.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar